Ketika Islam masuk di tanah jawa kelenturan dan sifat dinamis agama ini menjadi kunci bagi masuknya Islam dan kemudian ketika terjadi relasi Islam dan budaya justru melahirkan perilaku dan bahkan tradisi, adat masyarakat yang baik dan sangat mendasar secara fiqh.
Satu contoh adalah tradisi Syawalan, dimana setelah sepekan hari raya idul fitri, selepas sebagian umat Islam menyempurnakan puasa ramadhan dengan enam hari puasa syawwal. Kemudian berkumpul, saling kunjung mengunjungi, bersilaturrohmi, secara fisik sekalipun mungkin untuk keadaan sekarang agak berbeda tetapi esensinya tidak hilang kembali merajut tali persaudaraan dengan saling berkirim pesan permohonan maaf, dan saling mendoakan melalui media sosial, atau dengan bentuk virtual.
Dimana kearifan itu?, Ada riwayat hadist dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Disinilah kejelian Ulama, Kyai dahulu memberi ruang bagi sebagian umat yang hendak menjalankan sunnah Nabi SAW dengan berpuasa enam hari dibulan syawwal. Baru kemudian acara, event syawalan diadakan setelahnya.
Sehingga kemudian tidak cukup hanya dengan berbekal dalil Al-Quran dan hadist semata untuk menilai sebuah tradisi, adat yang mengakar dan bersingungan dengan perilaku masyarakat karena faktanya apa yang sudah berlaku selalu berdasar dalil yang jelas. Yang diperlukan adalah kearifan dalam mensikapi sesuatu yang sudah menjadi tradisi. Karena kemunculan, keberadaan satu adat itu hasil ijtihad kearifan para Ulama, Kyai sepuh.