Ada istilah Jawa yang sangat terkenal dan sering diungkapkan dalam hidup sehari-hari, namun jarang sekali kita melakoninya, yaitu Ngelmu iku Kalakone Kanthi Laku. Hingga kemudian ada istilah barat yang mungkin saja mengadopsi pandangan hidup dari filosofi Jawa ini, yaitu Learning by Doing.
Sejatinya manusia tidak pernah berhenti untuk mencari ilmu. Sebagaimana Tholabul ‘ilmi faridhotun minal mahdi ilal lahdi, manusia diwajibkan untuk mencari ilmu mulai dari lahir sampai mati. Ilmu Allah tidak pernah habis untuk digali, bahkan takkan pernah pernah habis dituliskan dengan tinta dari air lautan di dunia ini. Maka, manusia harus terus-menerus melakukan pencarian.
Ngelmu Kalakone Kanthi Laku berkaitan erat dengan pandangan orang Jawa mengenai Ngelmu Titen. Begitulah orang Jawa belajar dalam hal apapun. Orang Jawa terbiasa melihat, mendengar, mencatat dan merangkum, lalu menghubungkan antar poin-poin hingga menjadi sebuah hubungan yang menjadi ilmu hidup.
Kita tidak pernah mampu untuk menjalani laku niteni tanpa sregep, yaitu terus-menerus melakukan. Sregep dan niteni merupakan kunci dalam proses belajar. Sregep terkandung makna yang sangat dalam dan detail. Di dalamnya ada muatan sikap rajin, istiqamah, rutin, pantang menyerah dan ajeg.
Salah satu proses yang dilalui adalah menuliskan apa saja yang kita lihat, dengar dan rasakan. Bukan berarti harus menuliskan kata demi kata menggunakan ballpoint di atas secarik kertas, atau yang lebih ‘maju’, mengetikkan keyboard komputer maupun virtual keyboard pada smartphone. Lebih dari itu, manusia sudah diberi kelengkapan hardware untuk menuliskannya di dalam otak. Hanya saja kita perlu menyadari dan memilah apa saja yang seharusnya kita tulis di dalam otak.
Untuk dapat belajar bagaimana cara untuk memilah mana yang harus kita tulis, maka kuncinya adalah sregep menulis. Seperti yang kita tulis di atas, segala sesuatu akan didapat kanthi Laku.
Belajar merupakan proses menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Maka kita juga harus rajin membuat pertanyaan. Semakin banyak kita membuat pertanyaan, semakin banyak jawaban yang akan kita temukan. Kadang ada pertanyaan yang akan langsung kita temukan jawabannya, kadang ada yang butuh waktu dalam mencari, menulis dan merangkum hingga menjadi jawaban, bahkan ada pula pertanyaan yang kita tidak akan pernah tahu jawabannya.
Kadangkala kita menentukan satu titik poin untuk memulai mencari pertanyaan, dan ketika telah menemukannya, timbul pertanyaan baru, kemudian menemukan jawabannya lagi, lalu timbul lagi pertanyaan, begitu terus-menerus.
Ada pula pertanyaan yang dalam kita berproses mencari jawaban, malah ketemu jawaban dari pertanyaan yang lain. Nah, di sinilah kita tahu bahwa kenapa kita dituntut untuk terus berproses dan mencari. Kita tidak tahu hidayah Allah turun kapan, dimana, bagaimana dan dengan perantara siapa. Kadang pula kita menemukan jawaban duluan, sebelum terpikirkan pertanyaannya. Maka, pengetahuan apapun saja bisa kita tampung dalam memori sementara, siapa tahu nantinya kita menemukan permasalahan yang membutuhkan jawaban tersebut.
Semisal hidup adalah menjelajah hutan belantara, kita tidak tahu di mana jalan keluar, atau bagaimana cara untuk tetap bisa bertahan hidup. Ketika menyusuri jalan setapak, ndilalah kita menemukan kunci. Kita tidak tahu kenapa dan untuk apa ada kunci di dalam hutan. Maka kita ambil saja kuncinya, siapa tau nanti menemukan lemari yang cocok dengan kunci tersebut. Ndilalah lagi kita menemukan lemarinya, ketika kita buka ternyata ada peti yang masih terkunci, dan kita butuh kunci untuk membukanya.
Nah, salah satu cara untuk menangkap sebuah momentum, baik pertanyaan maupun jawaban adalah dengan menulis. Kita sudah ada panduan 5W+1H, kalau mau lengkap ditambah 2I, yaitu inspirasi dan intuisi. Panduan tersebut merupakan alat untuk membedah fakta yang terjadi, menyusunnya menjadi sebuah kenyataan. Pertanyaan 5W+1H akan kita temukan jawabannya yang kemudian pasti kita temukan pertanyaan lagi di dalamnya.
Sebuah daya tulis yang tidak dipupuk akan tergeletak dan tidak berfungsi manakala rasa ingin tahu tenggelam dalam kemapanan. Kalau jaman anak muda sekarang dinamakan “Kepo”. Rasa ingin tahu tidak melulu soal aib orang lain, lebih kepada fenomena dan gejala sosial, serta realitas hidup yang ada di sekitar kita.
Karena kemampuan menulis erat kaitannya dengan berpikir dan belajar, maka hukumnya menjadi fardhu’ain. Allah membahasakannya di dalam Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita, afalaa tatafakkaruun, afalaa ta’qiluun.
Begitulah salah satu proses belajar, menulis untuk membuat pertanyaan-pertanyaan sekaligus mencari jawabannya. Maka semakin banyak yang kita tulis, kita bisa membukanya kembali memori tersebut untuk bahan penelitian sepanjang masa untuk mencari kesejatian hidup.