Menu

Mode Gelap

Sosok · 13 Sep 2021 23:50 WIB ·

Kiai Rahmat Magelang, Lumpuh Bertahun-Tahun Tanpa Hadast


Kiai Rahmat Magelang, Lumpuh Bertahun-Tahun Tanpa Hadast Perbesar

MBAH Kiai Rahmat (Magelang) adalah kiai alim tapi tidak banyak ndalil. Sejak usia 20an tahun beliau lumpuh hingga wafat pada malam Selasa usai Maghrib 27 Dzul Qa’dah 1426 H/19 Februari 2004. Kelumpuhan beliau bukan karena kecelakaan, tapi karena kelelahan ngaji jalan kaki bertahun-tahun. Kok bisa? 
Beliau ini tergolong anak kiai di kampung yang secara ekonomi tidak mampu. Orangtua tidak mampu membiayai mondok maupun sekolah. Tapi semangat ngajinya tidak bisa dibendung. Demi ilmu, sejak kecil ia berjalan kaki tiap hari menuju majelis ngaji para kiai alim yang dikenalnya. 
Sambil membawa kitab, Rahmat kecil hadir pagi hari ke majelis kiai di kecamatan sebelah. Siangnya, ia melanjutkan jalan kaki untuk ngaji ke kiai lainnya, dengan judul kitab lainnya. Sore juga demikian. Bayangkan, hal ini dilakukan sebagai rutinitas harian, pagi sampai malam, dan berjalan selama bertahun-tahun. 
Suatu ketika, karena capai dan letih, kaki Kiai Rahmat kecil tidak bisa digerakkan. Padahal, dia sudah harus siap ngaji. Guru ngaji kitabnya meminta agar tetap ngasahi kitab sambil tiduran saja. Sejak itulah beliau lumpuh dan berhenti keliling menghadiri majelis ngaji yang wilayahnya melintas kecamatan sekitar Magelang itu. 
Ia kemudian menggelar ngaji di pesantrennya, Darul Muhtadin, Wonoroto, Magelang (berdiri 1966). Meski berbaring di atas satu kasur -dengan cukup satu bantal saja, Kiai Rahmat bisa mengajar santri-santrinya, bandongan maupun sorogan. Uniknya, saat sorogan, dalam satu tempat dan satu waktu, beliau bisa mengoreksi bacaan salah dari dua santri yang memegang dua judul kitab berbeda sekaligus. 
Kiai Rahmat tidak pernah merepotkan para santri hanya untuk menyediakan kitab yang akan dibaca. Ia letakkan semua kitab di lemari khusus. Saat butuh, bambu panjang yang ujungnya bercabang itu beliau gunakan mengambil kitab secara mandiri, seolah, setelah bambu tertempel, kitab itu terbelah “kurasannya” dan turun dari tempatnya disimpan, bak air terjun. Begitu selesai dibaca, kitab itu pun dikembalikan sendiri ke tempat asal, dengan bambu itu juga. Kok iso yo? Sepertinya, bambu tersebut memang sengaja dirancang oleh para santri, khusus untuk “nyupit” kitab.  
Saat para santri sedang merenovasi rumah dan pesantren, beliau juga bisa memerankan diri sebagai pengawas bangunan yang teliti. Bayangkan, dari atas kasur, sambil tiduran, Kiai Rahmat masih bisa memperingatkan tukang batu bahwa proyeknya dianggap kurang pas, tidak sesuai dan lain sebagainya. Sesekali santri dipanggil ke ndalem untuk diberi arahan renovasi. Padahal, beliau sama sekali tidak pernah mengenal sketsa lokasi yang sedang dibangun itu. 
Setelah semua renovasi selesai, ada satu bagian rumah yang sengaja ditinggalkan tak ikut kena renovasi. Santri segan mengutarakan maksud akan merenovasi atap rumah Kiai Rahmat karena menurut mereka, menaiki atap yang di bawahnya ada kiai sedang berbaring lumpuh dianggap suul adab (tak sopan).  
“Piye, ape ngapiki payon? Rapopo. Tak tutupi awakku nganggo kemul engko (Gimana, mau merenovasi atap. Tak masalah. Aku tutup diri dengan selimut nanti),” jawab Kiai Rahmat kepada santri yang matur ke beliau. 
Tak diduga, saat mereka mulai memanjat atap, genteng diambil semua, Kiai Rahmat ternyata sudah tidak berada di bawah atap tersebut. Ia raib dari atas pembaringan, seolah ditelan angin tak bertuan. Tak ada seorang pun yang berani menanyakan peristiwa itu ke beliau. Orang-orang hanya tahu Mbah Rahmat tidak pernah mandi atau ke toilet hanya untuk buang hajat. Tapi anehnya, beliau tak berbau, pun wajahnya tetap memancarkan nur dan masih makan-minum seperti manusia biasa. Saking terjaga wudlu’nya, Mbah Rahmat hanya memperbaharui wudlu tiap 15 hari sekali. 
Keponakan Kiai Rahmat yang akan ceramah di tetangga desanya tiba-tiba mampir silaturrahim. Sebelum pamit, ia meminta air berkah doa supaya tidak kencing dan berak seperti Kiai Rahmat. Beliau ini mudah qadlil hajat saat bertemu hawa dingin. Air doa diminum. Ceramahnya lancar tanpa terganggu kencing maupun berak di tengah ngaji. Satu pekan kemudian, santri dari keponakannya itu tiba-tiba datang meminta air doa. 
“Loh, kan sudah didoakan kemarin,” ucap Kiai Rahmat.
“Iya, kiai, tapi sekarang beliau khawatir karena sejak ngisi pengajian di daerah sini beliau tidak pernah lagi kencing dan berak. Kali ini mohon doa supaya beliau bisa kencing seperti manusia biasa”. 
Instalan air doa anti kencing dan berak sepekan lalu dianggap berbahaya untuk menusia biasa. Ia harus di-uninstal ulang oleh Kiai Rahmat sendiri. Bagi saya, ini hal wajar kalau kita semua memahami hukum ady (hukum kebiasaan) yang dibuat oleh Allah Swt., seperti dikupas tuntas dalam Kitab Hushunul Hamidiyah. Ada yang lebih aneh lagi. Simak ceritanya:   
Suatu kali, ada tetangga beliau yang sowan meminta tolong agar anaknya yang sudah puluhan tahun di perantauan mau pulang. Beliau hanya mendoakan. Doanya juga tidak ada yang aneh. Atas kuasa Allah Swt., tak jeda lama pulang lah si anak. 
“Kok tidak ngabari pulang kamu, nak?” Tanya sang ibu. 
“Katanya ibu yang minta saya pulang?”
“Kata siapa?”
“Pak Rahmat”. 
Si anak kemudian bercerita kalau di perantauannya, ia tiba-tiba dijenguk oleh Pak Rahmat, panggilannya saat masih kecil, sebelum dia merantau. Pak Rahmat hanya sebentar saja mampir ke rumahnya dengan keperluan menyerahkan surat yang ditulis oleh ibunya, kata dia. Isi surat itu adalah permintaan sang ibu agar pulang ke rumah walau sebentar. 
“Kiai Rahmat tidak mungkin ke rumahmu, karena dia sudah lama lumpuh,” Ibunya menyanggah. 
“Sejak kapan dia lumpuh?”
“Ya sejak kamu kecil, sejak merantau”. 
Tak percaya, sang anak kemudian sowan ke Kiai Rahmat bersama keluarganya. Apa yang terjadi kemudian, wallahu a’lam. 
Intinya, kejadian semacam ini di luar jangkauan Stephen Hawking, fisikawan teori kosmologis yang anti keyakinan semua agama kreasionis (percaya adanya penciptaan). Ia manusia yang meyakini sesat terkait keabadian waktu, alam dan asal mulanya (kaum dahriyah).[]
Keterangan:
Sebagian besar konten hikayat di esai ini bersumber dari Habib Shadiq Aidit (Tahunan, Jepara) yang pernah bersinggungan langsung dengan Mbah Kiai Rahmat saat masih di Magelang. Cerita disampaikan di rumah penulis pada malam Jum’at Pahing, 3 Shafar 1443 H/10 September 2021. Selesai ditulis Jumat malam, 19:23 WIB di tanggal yang sama.
Oleh : 
Abdalla Badri
admin
Author: admin

Artikel ini telah dibaca 32 kali

badge-check

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Lainnya

Jadi Ketum Baru Fatayat NU, Ini Dia Sosok Margaret Aliyatul Maimunah

17 July 2022 - 01:54 WIB

Sebuah Solusi Kyai Wahab Hasbullah Tentang Qurban

10 July 2022 - 09:30 WIB

Akhlak Mulia Mbah Yai Hamid Pasuruan dan Ijazahnya

7 March 2022 - 03:22 WIB

Syekh Abdul Ghani Albimawi – Mahaguru Nusantara

21 December 2021 - 14:24 WIB

Sekapur Sirih : Kisah KH. Fadlil Toyyib – Saragan, Rambeanak, Mungkid, Magelang

19 December 2021 - 10:10 WIB

Pencipta Sholawat Nahdliyyah, KH. Hasan Abdul Wafi

15 September 2021 - 14:17 WIB

Trending di Sosok