Hukum membagikan daging qurban ada dua pendapat:
Tidak Boleh
Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Artinya, “Apabila seseorang berqurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging qurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging qurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang qurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari qurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena qurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141).
Logika yang dibangun untuk mendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan qurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka. Sebab, hewan qurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging qurban kepada non-Muslim.
Boleh
Diperbolehkan memberikan sedekah —termasuk di dalamnya memberikan daging qurban— selain kepada kafir dzimmi (non-Muslim yang tidak memerangi atau memusuhi umat Islam).
وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ
الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
Artinya, “Boleh memberikan makan dari hewan qurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan qurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging qurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan qurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.
Ulama Syafi’iyyah juga ada yang membolehkan pembagian daging qurban kepada non muslim, sebagaimana disebutkan Syekh al-Baijuri dalam Hasyiyah-nya sebagai kutipan dari kitab al-Majmu’ bahwa boleh memberikan daging qurban sunnah kepada orang miskin ahli dzimmah, non muslim yang hidup rukun dan damai dengan muslim.
Penjelasan ini bersumber dari:
KH. Achmad Labib Asrori
- Pengasuh PP. Irsyadul Mubtadi’ien, Tempursari Tempurejo Tempuran Magelang
- Katib Syuriyah PCNU Kabupaten Magelang
- Ketua Umum MES Magelang Raya