Sabtu malam Ahad Legi, awal bulan Muharram yang juga menjadi awal tahun hijriyah tahun 1444 H tepat di tanggal 30 Juli 2022, sebuah upaya untuk melakukan muhasabah diri, bercermin dan mengaji diri dalam wujud Majelis Rasan-Rasan perdana dilaksanakan.
Malam-malam akhir ini udara lebih dingin dari biasanya membuat tubuh seakan harus mencari kehangatan. Maka hadirnya Majelis Rasan-Rasan ini dibuat sebagaimana api unggun di ruang lepas.
Majelis Rasan-Rasan memang tidak harus ada, tidak harus dilaksanakan, tidak ada sangkut-paut dengan aturan-aturan baku, hanya saja perlu ada pemahaman para pelaku sekaligus peserta untuk saling memahami bahwa di ruang majelis ini adalah saling belajar dan saling bercermin. Kita juga bersepakat bahwa ada hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Kita berhak berbicara sementara yang lain berkewajiban mendengar. Kita berkewajiban berbicara sekaligus berhak untuk didengarkan. Begitu pula ketika yang lain berbicara, kita berkewajiban mendengarkan.
Episode perdana sudah cukup baik dengan hadirnya 6 orang, yaitu mas Rofi’, mas Wahyu, mas Bayu, mbak Putri, mas Hasan dan saya sendiri, Muchlis. Majelis ini tidak akan pernah mentarget peserta yang hadir, juga tidak mengharuskan selalu hadir. Hanya yang kita upayakan memang konsistensi dalam belajar, harus istiqomah dalam berkaca diri, sehingga secara berkala kita dapat mengevaluasi apa-apa yang kita rasakan dan lakukan.
Pertemuan diawali dengan masing-masing dari kita untuk mensyukuri apapun saja tentang hari ini. Menjadi unik ketika beberapa teman mensyukuri hal-hal yang sebenarnya secara kasat merugikan, tetapi mereka tetap bersyukur. Yang kita pelajari bersama adalah segala hal awalnya dari Allah yang harus kita syukuri, tidak melulu kejadian yang dialami adalah baik atau buruk bagi kita, bahwa hikmah lah yang menjadi dasar kita bersyukur. Sehingga untuk waktu kedepan kita dapat lebih berhati-hati dalam bertindak.
Sesi selanjutnya adalah masing-masing dari kita mengungkapkan apa yang dirasakan selain rasa syukur. Karena semua dari kita adalah anggota maupun pengurus organisasi Ansor, IPNU dan IPPNU maka batasannya adalah apa yang kita rasakan selama ini dalam mengurusi organisasi. Tentu apa yang dirasakan sangat beragam, namun seluruhnya menunjukkan rasa bangga dan senang telah ikut serta dalam upaya bermanfaat untuk organisasi.
Sebagaimana ketika kita mempunyai rasa kepada lawan jenis, bahwa mengungkapkan perasaan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Banyak energi yang terkuras untuk jujur mengungkapkan rasa. Maka sesi selanjutnya adalah untuk merelaksasi pikiran dengan permainan sambung huruf.
Sebuah wacana, tulisan terdiri dari banyak paragraf, paragraf terdiri dari beberapa kalimat dan kalimat tersusun dari kata-kata. Unsur terkecilnya adalah huruf, menjadi dasar terbentuknya wacana yang panjang. Karena kita menjunjung rasa bersama, duduk sama rata, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, maka permainan sambung huruf ini juga perlu ada kaitannya dengan kebersamaan. Saat permainan ini dilangsungkan, beberapa kali terhenti karena rangkaian huruf tidak terbentuk menjadi kata.
Hal yang kita pelajari adalah fokus kita dalam mendengarkan orang lain, memproses huruf apa yang telah dikeluarkan oleh orang lain dan memutuskan huruf apa yang akan kita keluarkan. Sehingga keputusan kita masing-masing menentukan terbentuknya sebuah kata. Ternyata ketika sebuah kata terbentuk, tidak melulu sesuai dengan apa yang masing-masing dari kita kehendaki. Masing-masing peserta mempunyai maksud dari keputusannya sendiri, tetapi tetap hasil akhir terbentuknya kata adalah keputusan bersama.
Sesi selanjutnya setelah kita cukup untuk merefleksi pikiran adalah mengungkapkan kelemahan diri. Ini juga dalam rangka mengeluarkan rasa, tidak mudah untuk jujur mengenai apa yang menjadi kekurangan kita. Di tengah iklim masyarakat yang selalu menonjolkan kehebatannya, justru kita melatih diri untuk jujur menunjukkan kelemahan.
Sesi ini berlangsung agak lama, karena ketika satu peserta mengungkapkan kelemahan diri, yang lain diwajibkan mengeluarkan pandangan untuk sekedar mengomentari sampai menasehatinya. Begitu terus sampai semua peserta mengungkapkan kelemahannya. Inilah yang menjadi cermin kita, bagaimana kita harus bertindak, setidaknya kita mempunyai referensi dari berbagai pandangan yang perlu kita pertimbangkan.
Seluruh sesi terasa padat, padahal kegiatan ini hanya memakan waktu selama 2 jam, dimulai dari pukul 20.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Kita tidak mempunyai harapan apapun selain untuk saling belajar dan mengajar, saling menasehati, saling jujur satu sama lain.