Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi satu kebijakan yang dipilih oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai langkah preventif menghindarkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kerumunan. Namun, kebijakan ini berisiko terhadap masyarakat miskin yang tidak memiliki fasilitas untuk melakukan model pembelajaran demikian yang membutuhkan gawai.
Melihat fakta demikian, Organisasi Poros Pelajar di tingkat pusat menyatakan PJJ sangat amburadul karena tidak adanya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini tertuang dalam pernyataan sikap yang ditandatangani bersama pada Senin (27/7).
Adapun organisasi yang turut menandatangani adalah Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU), Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU), Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM), Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII), Ikatan Pelajar Persis, Ikatan Pelajar Putri Persis, dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan.
Tidak hanya itu, PJJ menjadi dilematis tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia mulai dari dana BOS yang hanya ditujukan bagi platform digital sehingga dana pengembangan kreativitas siswa menjadi terhambat.
Bahkan di Lampung, ada pencurian laptop agar anaknya bisa sekolah melalui PJJ dan juga di Rembang yang sekolah sendirian karena tidak memiliki ponsel. “Masih ada banyak kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi. Pendidikan di tengah pandemi hanya bisa dinikmati bagi mereka yang memiliki uang.”
Poros Pelajar meminta pemerintah dapat turun langsung melihat kondisi masyarakat secara riil. “Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kemendikbud harus terjun langsung dalam melindungi dan menjaga anak-anak termasuk mendapat akses pendidikan baik secara tatap muka maupun daring.”
Khusus di tengah wabah Covid-19, perlu diingat tidak semua daerah mendapatkan akses dan ketersediaan internet maupun gawai. Hal ini harus diprioritaskan agar tidak terjadi kesenjangan yang nyata antara anak daerah dan perkotaan, karena seluruh anak-anak di Indonesia memiliki hak yang sama untuk sekolah.
Organisasi Poros Pelajar Tingkat Pusat juga mendesak Kemendikbud mencari solusi pembelajaran baru. Sebab, model pembelajaran saat ini membuat anak-anak termarjinalkan, karena tidak memiliki gawai untuk mengakses pembelajaran.
Sebab, pendidikan adalah hak semua manusia di Indonesia, bukan semata-mata mereka yang memiliki uang saja yang bisa mendapatkan akses pendidikan, tetapi mereka yang miskin dan berada di kawasan 3T perlu dan wajib mendapat pendidikan.
Organisasi Poros Pelajar juga mengingatkan kepada pemangku kebijakan yang dalam hal ini pemerintah pusat untuk lebih fokus dalam memperbaiki nasib pendidikan di Indonesia.
Mereka menekankan arti pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan yang berpihak kepada pelajar serta pemerintah harus hadir di tengah anak-anak bukan persoalan fasilitas tetapi berbentuk kepedulian dan memberikan hak serta kewajiban terhadap anak.
Di samping itu, organisasi pelajar juga mengutuk keras lambatnya gerak Kemendikbud dalam mengatasi kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia. Karenanya, mereka meminta agar Kemendikbud bisa fokus dalam membangun pendidikan di tengah pandemi Covid-19.
Selain itu, Poros Pelajar Indonesia pun mengecam keras kebijakan Kemendikbud yang sangat tidak tepat sasaran di tengah pandemi Covid-19 ini, seperti Progam Organisasi Penggerak (POP). Menurut mereka, lebih baik dana tersebut dialokasikan bagi pelajar dan guru-guru honorer yang terdampak pandemi.
Terakhir, Kemendikbud diminta oleh mereka untuk mengkaji ulang sejarah organisasi besar Indonesia yang selama ini terus fokus dalam mencerdaskan bangsa Indonesia sejak jauh sebelum negara ini merdeka.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan